Postingan Terunggul Hari Ini

Suasana Pada Masa lalu Membawa Mendung

Terpendam rindu mendayung kalbu, hati-hati untuk kusentuh, takut-takut bisa menyakiti. Sayup-sayup hening menyapa, mengantar roh pada masa i...

#7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8


#7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8 - Dalam bahasa suku pedalaman Rimba di Novel Hitam mungkin anda bertanya-tanya? Bahasa daerah mana sih itu? Seperti "kota" Memangnya ada orang indonesia menyebut kota yang artinya katak dalam bahasa mereka? Tidak ada bukan? Saya memang sengaja tidak membuat bahasa dari suku aye-aye dan suku Pute khusus dari bahasa suatu daerah. Karena alasannya takut nantinya ada masyarakat yang marah jika bahasa mereka digunakan dalam bahasa orang-orang pedalaman.

Gading putih juga saya buat sedemikian rupa, yaitu terbuat dari batu kristal namun bentuknya. menyerupai kerambit (Memang agak tidak masuk akal kan?) Karena itu tujuannya supaya kerambit yang merupakan senjata dari masyarakat padang tidak merasa kalau senjata mereka di ambilalih atau sejenisnya.

Bagi anda yang belum membaca Novel motivasi hitam episode sebelumnya silahkan baca disini 

Dan berikut #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8 :


Gading Putih

#7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8
Gading Putih sama bentuknya seperti kerambit.. Sumber Foto gpswisataindonesia.blogspot.com#7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8


            5 Pemuda dari suku aye-aye sudah berbaris di depan goa, orang-orangnya sudah antusias hendak melihat kepergian menuju ujian bagi kami untuk mendapatkan senjata gading putih. 

            Ujian ini memang selalu dilakukan setiap kali pemuda dari suku aye-aye sudah beranjak dewasa, itu kata kai. Kami harus mengambil sendiri gading putih di kawasan Rimba yang selama ini terdengar berbahaya, di kawasan itu tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk memasukinya kecuali bagi mereka yang hendak menghadapi ujian, di kawasan rimba itu pula terdapat beberapa hewan liar yang ganas, itulah sebabnya tidak diperbolehkan berburu disitu. Konon katanya, setiap kali ujian ini dimulai, selalu saja ada yang tidak bisa pulang dengan selamat, ini benar-benar ujian yang bukan main-main.

            Kawasan itu berada ratusan KM dari sini, Rimbanya terkenal sangat mengerikan, penuh dengan rintangan. Dengan anak panah tertenteng di belakang, kami berangkat menuju Rimba kematian. 

            Gading putih merupakan tanda bahwa pria dari suku aye-aye mampu bertahan hidup di tengah Rimba, gading putih adalah senjata terbaik untuk menyerang lawan dari jarak berdekatan. Ujungnya yang runcing dan tajam akan merobek kulit sekeras apapun.

            Setidaknya sampai sekarang aku bisa lega, untunglah kemarin Kai dan yang lainnya tidak percaya dengan perkataan Bolu. Mereka menganggap kalau itu semua hanyalah karang-karangan Bolu saja karena ‘kalah’.

            “Apapun yang terjadi, jangan pernah kito saling meninggalkan satu sama lain. Kito mesti kompak, kareno kito ini adalah saudaro...” Ambong memecah lengang ketika kami di tengah perjalanan.

            “Bilang sajo kalau kau takut Ambong, itulah sebabnyo tak mau ditinggalkan...” Bolu yang berjalan paling awal berkomentar.

            Ambong mendengus sebal, “Ngapolah pulo di suku ini ado orang macam kau Bolu, menyebalkan”.

            “Maksud kau apo, hah?” Bolu berhenti, berbalik ke arah Ambong yang berjalan di belakangnya.

            “Kau tahu sendirilah, kalau kau itu orangnyo cerewet, keras kepalo, macam orang yang paling hebat sajo...” Ambong meladeni debat. Aku tak mau ikutan, mereka berdua sama-sama cerewet, bedanya ada yang sok hebat dan ada yang hanya sekedar konyol. 

            Seiring waktu perdebatan mereka meredah dengan sendirinya.

            Kami sekarang sudah hampir menuju ke goa itu, goa gelap nan menakutkan, tidak ada yang berani bicara ketika sampai disitu, kami semua hening, membungkam mulut. Mak Abem masih menjadi misterius sampai sekarang, belum pernah ada yang berani mendatangi dan melihat sosok dari Mak Abem tersebut, seberani-beraninya suku Aye-aye, mereka paling takut dengan sosok itu. 

            Bernapas lega, kami sudah menyebrangi sungai, melewati goa itu pula.

            “Meskipun kalian akan memasuki wilayah terlarang, jangan pernah kalian rusak hutannyo, jangan pernah membunuh hewan-hewan kecuali untuk dimakan atau sudah mengancam keselamatan. Setiap manusio itu hidup dari alam, itulah sebabnyo kito mesti jago hutan, meskipun tidak biso memperbaiki, tidak merusak sajo itu sudah cukup, selalu begitu, jangan sampai salah satu dintaro kito menjadi seorang perusak, kareno itu larangan terbesar dan hal paling memalukan bagi manusio..” Itu pesan kai sebelum kami berangkat.

            Walaupun mereka-mereka adalah orang pedalaman, mereka lebih terhormat dan bijak daripada orang-orang kota yang terdidik namun tidak menghargai alam, buang sampah sembarangan dan perusak hutan.

            Suasana hutan semakin gelap, semak-semak semakin banyak, ini pertanda kami sudah mulai memasuki wilayah terlarang.

            Anak panah sudah erat di tangan kami, bersiap-siap menombak jika mendadak ada hewan liar yang menyerang. Suasana sedikit tegang, tidak ada satupun dari kami yang membuka mulut. Suara dari berbagai jenis burung terdengar riuh di atas pohon, elang melengking di langit terdengar seakan kelaparan hendak mencari mangsa yang mampu mengiri perut kosongnya.

            Sudah berjam-jam kami melangkah, Ambong dan yang lainnya sudah terlihat payah. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak, melepaskan penat, menghempaskan tubuh bersender di pohon.

            “Jiko aku sudah mendapatkan gading putih itu, aku akan membalaskan dendam kepado suku pute...” Ambong memecah hening, mengenggam erat busur panah, ia terlihat membenci sekali anggota dari suku pute. Aku juga akan membalas dendam, jika saja bisa keluar dari hutan ini. Namun aku khawatir dengan dendam antar suku ini, disatu sisi suku aye-aye sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, di lain sisi disitu ada teman wanita ‘istimewa’ku. Seandainya kedua suku terjadi peperangan, aku tidak tahu akan membela siapa.

            Aku berdiri mengambil batu tajam, memotong akar-akar yang menggelayut dari pepohonan, hingga mencuak deras air segar, di akar itulah orang-orang pedalaman disini sering melegahkan tenggorokan ketika tengah berburu.

            “Kau sendiri, apo yang akan kau lakukan kalau senjato itu telah didapatkan, Sulung?” Ambong bertanya, Aku diam tak menjawab.

            “Dio akan bergabung dengan suku pute, lalu menyerang suku kito..” Bolu ikut bicara. Dua yang lainnya tak mau ikutan, lebih memilih untuk istirahat.

            “Jangan asal cakap Kau Bolu...” Aku emosi, dia benar-benar sudah kelewatan.

            “Memang benar, bukan. Oyoyoy seharusnyo kau malu, kau itu sudah kami selamatkan, bukannyo terimo kasih malah berhianat”

            Aku sudah bersiap memukul wajah Bolu, Ambong menghentikan.

            “Sudahlah, kito disini bukan untuk ribut, tapi untuk mendapatkan gading putih. Jiko kalian sudah tidak lagi lelah, lebih baik kito lanjutkan perjalanan” Ambong berdiri di tengah kami yang sudah siap saling memukul. Aku mengalah, menenangkan saraf emosi. Ambong benar, untuk apa aku meladeni si Bolu. Perkataan Bolu barusan juga benar, aku berhutang nyawa dengan suku aye-aye, namun aku juga telah berhutang nyawa sama si Oli, karena ia menolongku di malam itu, dengan membunuh beruang yang hampir mencabik-cabik dagingku.



***


            Hampir seharian kami berjalan, mentari mulai bersiap berganti posisi dengan bulan, kami akhrinya sampai ke tempat tujuan, Rimba rintangan. 

            Semakin kesini, suasana semakin tegang, sedikit rasa takut timbul di dalam benak, apa yang akan kami hadapi disana?

            Kami akhirnya seampai tepat ketika hari sudah berwarna hitam, suara burung hantu menyambut kedatangan kami. Bulan hanya menampakkan setengah dirinya, terlihat dari sela-sela dedaunan pohon, bertemankan dengan bintik-bintik indah yang menghiasi angkasa. Kami tengah berbaring di bawah pohon, belum bisa melanjutkan perjalanan. Suasana terlihat gelap, dingin terasa, terbiasa tidur di goa yang hangat membuat kami kedinginan di luar sini, apalagi tubuh yang tidak ditutupi oleh sehelai benangpun.

            “Oyoyoy disini menyeramkan nian...” Ambong mengeluh.

            “Kau memanglah penakut Ambong. Payah..” Bolu berkomentar.

            Suasana lengang sejenak, terdengar jangkrik yang seakan tengah berpesta.

            “AHHHHH...” Teriakan Bolu mengagetkan kami semua.

            “Ado apo Bolu?” Dodu berkomentar.

            “Ular... Ado ular...” Bolu berjinjit merapat ke arah kami.

            “Oyoyoy kau nih, ngomongkan aku bae penakut, kau bahkan lebih penakut ketimbang aku...” Ambong berkata ketus – Bolu gemetaran, ia memang paling takut kalau bertemu ular, aku segera mengusir ular itu.

            Kembali bersender ke pohon. Beberapa jam berlalu, suara ngorok terdengar dari Ambong. Aku belum tertidur, tidak bisa. Pikiranku melayang kemana-mana

            Apakah keempat adikku masih hidup? Entahlah, aku sangat merindukan mereka, jika saja aku bisa keluar dari sini. Leo William, orang itu kembali mampir di pikiran. Keterlaluan, sudah beberapa tahun aku tinggal disini, namun kejadian pembunuhan ayah dan mama masih juga belum hilang. Air mata mengalir, tak bisa dijelaskan bagaimana rasa sedih dihatiku ini.

            Aku berdiri, mencoba memenangkan pikiran, berjalan-jalan. Mungkinkah belum ada orang kota yang pernah ke Rimba ini? Suara lolongan serigala terdengar dari kejauhan. Astaga, ternyata lolongan serigala itu tidak hanya dari kejauhan. Terlihat beberapa pasang mata menyala dalam kegelapan, dan sekarang mereka menuju ke arah Ambong dan lainnya yang tengah tertidur. Aku harus cepat menyuruh mereka untuk berlari dari situ. Langkah kaki serigala-serigala itu mulai sampai ke arah mereka, Aku mempercepat langkah, mencoba untuk mendahului romnbongan serigala tersebut.

            “Ambong...Bolu... Dodu...Anbu... Cepat kalian bangun” Panik aku membangunkan mereka. Astaga, mereka susah sekali untuk bangun. “Ambong..Bolu..Dodu..Anbu Cepat kalian bangun..” Aku menggerakkan tubuh mereka satu persatu.

            Ambong menguap, mengusap matanya “Ado apo? Ini masih gelap, besok sajo baru kito lanjutkan perjalanan” Ambong kembali menyenderkan tubuhnya ke pohon. Menguap lagi.

            “Tidak biso, kito harus secepatnyo lari dari sini” Aku panik. Bolu dan yang lainnya tidak menghiraukanku.

            Terlambat, puluhan dari sosok mata menyala itu sudah menghampiri, mengepung kami. Mulut dan gigi-gigi tajamnya meneteskan liur, mereka terlihat kelaparan sekali. Napas dari serigala-serigala itu seakan sudah tercium di hidung. Mereka melolong panjang, mendengar hal itu baru Ambong dan yang lainnya tersadar dari tidur nyenyak.

            “Oyoyoy kenapo kau tak membangunkan aku kalau ternyato ado mereko-mereko ini Sulung...?” Ambong mencicit ketakutan. Aku tak membahas, daripada sibuk berdebat, lebih baik serigala-serigala ini dibunuh, apa kata Kai? Boleh membunuh jika hewan-hewan disini mengancam keselamatan. Tanganku sudah reflek memegang busur panah,  Ambong dan yang lainnya juga bersiap untuk meluncurkan tombak.

            Satu anak panah sudah kuluncurkan, berhasil, satu serigala sudah tumbang. Melihat hal itu, serigala lainnya semakin menjalak bengis, melompat lebih dekat ke arah kami. Hewan-hewan itu masih puluhan, melihat sedikit celah, kami bergegas kabur dari mereka, percuma. secepat-cepatnya kami berlari, serigala bahkan lebih cepat, anak panah sudah beberapa kali kami luncurkan, namun tidak juga membuat habis para serigala ini. Kami benar-benar terkepung. Satu dari serigalanya meloncat, menerkam tangan Ambong, membuat Ambong memekik kesakitan. Aku mengambil tongkat kayu, memukul kepala serigala dengan sekuat tenaga, serigala itupun tumbang, namun gigitan yang ditimbulkan oleh gigi tajamnya membuat darah di tangan Ambong mengucur lumayan deras.

            Bolu, Dodu, dan Ambu masih sibuk memanah serigala, sudah sebagian serigala berkurang, pikiranku mencari tahu agar rombongan hewan ini bisa lari. Aku tahu, api, api sepertinya bisa mengusir mereka. Bergegas aku mengambil 2 kayu kering, menggesekkan mereka agar bisa memercikan api. Tidak menunngu waktu lama bara api sudah nampak, daun-daun kering mempercepat apinya menyalah. Berhasil, melihat api yang kian membesar, rombongan serigala itu akhirnya kabur. Bernapas lega, meskipun masih sedikit tegang.
            Baru memasuki Rimba ini sebentar saja, rintangan sudah mulai menghadang.

            Ambong meringis kesakitan, aku segera mencari ‘rumput belanda’ untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat keringnya luka. Rumput belanda memang salah satu obat alami jika terjadi luka. Menggilingnya menggunakan tangan, dan menempelkannya ke lengan Ambong.

            “Kau tak apo, kan?” Bertanya, Ambong menggeleng, tak Apa.

            “Yo sudah, lebih baik kito istirahat sajo dulu disini..” Aku melempar daun kering ke api. Bolu, Dodu dan Anbu mencabuti anak panah dari badan serigala, mengambilnya kembali.

            “Serigala di Rimba rintangan memang lebih kuat dari serigala di hutan biaso..” Bolu berkomentar.


BERSAMBUNG KE HALAMAN BERIKUTNYA.. BACA DISINI

Tag : #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8,#7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8, #7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8,#7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8

Silahkan Masukkan Email anda Untuk Update Fakta Lainnya:

0 Response to "#7 Novel Hitam yang Memotivasi Episode 8"

Post a Comment

Tolong Jangan Melakukan SPAM ya.
KOMENTARLAH SESUAI ARTIKEL DI ATAS :)

TERIMA KASIH
ADMIN
INDRA SAPUTRA