Postingan Terunggul Hari Ini

Suasana Pada Masa lalu Membawa Mendung

Terpendam rindu mendayung kalbu, hati-hati untuk kusentuh, takut-takut bisa menyakiti. Sayup-sayup hening menyapa, mengantar roh pada masa i...

I Miss My Self

 "I Miss My Self"

.



"Hidup kadang kayak tai, ya." Cino, kawanku menyenderkan punggungnya ke batang pohon, sembari mengembuskan asap rokok, seolah ingin membuang seluruh masalah menumpuk dalam dadanya.


Angin malam menyibak daun pepohonan, lembut, cukup menjatuhkan beberapa helai dedaunan. Terasa dingin, aku kembali menenggak Vodka yang sudah dicampur minuman berenergi agar rasanya tidak terlalu getir, cukup untuk menghangatkan tubuh dari dalam, lebih tepatnya dengan cara ini semoga malam bisa terasa indah.


"Hei, Yedi. Apakah menurutmu mati itu menyenangkan?" Cino kembali berceloteh dengan tatapan lurus ke depan, memandangi jalan, sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi, suaranya memekakkan telinga.


"Kalau kau mati lantas arwahmu bergentayangan dan mampu membunuh manusia pengganggu macam pengendara motor yang suara knalpotnya macam kentut anjing itu barangkali menyenangkan, setidaknya mati mu bisa berguna, kawan." Aku mulai berbicara ngelantur, efek alkohol dari Vodka nampaknya mulai bereaksi.


Cino terkekeh pelan, kembali menghisap rokok di sela jari, sesekali ia ikut menenggak Vodka.


Hampir setiap malam beginilah yang kami lakukan, berbincang di bawah pohon bertemankan rokok serta minuman setan sebagai hiburan.


Cino dan Aku senasib, mempunyai permasalahan sama, jadinya kami bisa saling mengerti apabila membahas banyak hal memuakkan dalam hidup ini.


Kami berdua sering dianggap sampah masyarakat sebab keseharian kami lebih seringnya tidak jelas.


Atau bukan karena itu, mungkin kami dianggap sampah sebab tampilan kami berbeda dari seluruh orang kampung di sini, sebab kami mempunyai kulit sangatlah hitam, persis seperti arang, sebuah keanehan dari lahir. Kalau saja kedua orangtua kami juga berkulit hitam, barangkali tidak aneh sebab keturunan, sementara orangtuaku berkulit sawo matang cenderung putih. Orangtua Cino bahkan berkulit putih, khas orang Cina, kontras sekali dengan warna kulit kami yang hitam gelap. Hidup di tengah kampung dengan masyarakat Rasisme tinggi sangatlah menyiksa, dimanapun kau berkumpul maka kau akan jadi ejekan orang lain. Mereka seringkali tertawa, seolah lucu sekali, tanpa memikirkan apakah perasaan kami terluka atau tidak.


Bagi aku dan Cino yang tengah duduk di bangku SMA, tampilan dengan kulit sehitam ini sangatlah memuakkan, di tengah orang-orang sibuk untuk menampakkan tampilan Good Looking mereka, kami berdua hanya bisa bersembunyi, berusaha menjauh dari keramaian.


Menjadi bahan ejekan secara terus menerus ampuh sekali membunuh mental secara perlahan. Ketika melihat mereka menertawakan kami rasanya ingin sekali menyayat mulut mereka hingga tidak berbentuk.


"Kalau mati bisa membakar kampung ini, aku ingin membakar kampung ini saja, kawan." Cino tertawa kencang, mengangkat botol Vodka.


Bagi kami berdua dengan cara menghibur diri melalui minuman alkohol inilah penuntas segala masalah, jika efeknya telah terasa maka kesadaran akan menghilang, pikiran mulai memasuki dunia khayal, meninggalkan sakitnya dunia nyata. 


Biasanya tiap pagi kami dibangunkan oleh orang-orang yang hendak pergi ke masjid untuk melaksanakan Shalat subuh.


Lantas setelah bangun kami pulang ke rumah agar siangnya bisa sekolah. Baik orangtuaku dan orangtua Chino bahkan sudah tidak perduli lagi kami mau apa dan di mana, kami dibebaskan melakukan apapun, mungkin kami juga dianggap beban oleh mereka.


Aku dan Chino berjalan ke jalur berbeda, tubuh masih sedikit sempoyongan ketika berjalan, kepala masih terasa pening. Ah, lagi-lagi aku harus menghadapi dunia nyata, tidak bisakah efek melayang dari alkohol terasa terus-terusan? Agar tidak perlu lagi menghadapi dunia nyata ini?


"Brengsek!" Aku meludah ke depan.


"Astaghfirullahaladzim." Terdengar suara istighfar di depan. Rupanya ludahku mengenai baju salah seorang yang hendak pergi ke masjid.


Aku melihat ke depan, terlihat samar-samar tubuhnya, lantas terkekeh, "Hehehe."


Terdengar dengusan berat darinya, "Sialan kau, dasar bocah hitam menjijikkan. Sampah masyarakat." Dia mengumpat, lantas melewatiku.


***


Menjadi tidak sama seperti kebanyakan orang banyak sekali hal menyebalkannya. Misalnya ketika di sekolah ada tugas kelompok di mana harus memilih pasangan cowok dan cewek untuk mengerjakannya membuat rasanya kembali terasing, tentu saja tidak ada cewek yang mau kerjasama dengan orang seperti kami, beruntungnya Cino satu kelas denganku, jadinya hanya aku dan Cino yang mengerjakan tugas dari guru dengan pasangan cowok dan cowok, membuat ejekan tertawa seruang kelas kembali meruak.


Meskipun menyebalkan waktu terus berjalan, malam kembali hadir.


Aku dan Cino sudah duduk kembali ke bawah pohon, Cino sudah membeli sebotol Vodka, minuman berenergi dan sebungkus rokok.


"Minumlah kawan, kita bunuh malah ini seperti biasanya." Cino terkekeh.


Malam ini terasa ada yang mengganjal, entahlah seperti ada sesuatu di hati untuk menggerakkan agar berhenti melakukan hal sia-sia seperti ini terus-menerus.


Memang, tiapkali menenggak minuman alkohol beban rasanya tertuntaskan, tapi tiapkali kesadaran itu muncul lagi, penyesalan amat sangat acapkali singgah di hati. 


Perasaan menyesal selalu saja dapat menyiksa hati dengan caranya sendiri.


Terbesit dalam pikiran, 'Sampai kapan harus seperti ini?'


"Kau kenapa Bengong, Yedi. Tidak seperti biasanya?" Cino menepuk pundakku, menyadarkan dari lamunan.


Aku menarik napas panjang, "Hei, Cino, kapan kau terakhir kali Shalat?" Aku melirik ke arah Cino.


Cino terdiam sejenak, lantas tertawa, "Kenapa kau tiba-tiba menanyakan Shalat, kawan?" Ejeknya.


Aku tidak lagi memperdulikan tertawanya Chino, pikiranku memutar memori, mengingat kapan terakhir kali aku Shalat?


Aku ingat, aku sering shalat ketika aku masih duduk di bangku SMP, rasanya saat itu walaupun aku sering dihina dan dibully, ada perasaan tenang dan damai, tidak ada gelisah, tidak ada waktu dan uang habis sia-sia.


Ada perasaan rindu rasanya ingin kembali seperti dulu, perasaan tidak menyenangkan dan penyesalan tiap kali melakukan hal sia-sia seperti sekarang hanya berujung tersiksa lagi.


Yah, sepertinya aku tidak butuh minum-minuman seperti ini, aku tidak harus menghabiskan waktu dengan sia-sia seperti ini. Yang aku butuhkan adalah penerimaan, menerima diri sendiri dan kembali ke jalan yang benar.


Aku rindu diriku sendiri yang dulu, aku ingin pulang, dimana aku senantiasa menjalankan perintah Tuhan dan menjauh larangan-Nya. Aku ingin pulang ke zona damai. 


'Yah, aku harus bisa berubah menjadi lebih baik.' Bathinku menasehati. 


"Minumlah dulu kawan." Cino sudah mencampurkan Vodka dengan minuman berenergi.

.

- SUGESTI PIKIRAN, Tentang Kita.

Silahkan Masukkan Email anda Untuk Update Fakta Lainnya:

0 Response to "I Miss My Self"

Post a Comment

Tolong Jangan Melakukan SPAM ya.
KOMENTARLAH SESUAI ARTIKEL DI ATAS :)

TERIMA KASIH
ADMIN
INDRA SAPUTRA